Di dalam film At The Verry Bottom Of Everything karya sutradara Paul Agusta, film ini menceritakan tentang perasaan yang di alami oleh penderita bipolar disorder. Mood yang berubah ubah membuat penderita bipolar tidak nyaman dengan dirinya sendiri yang juga akan berpengaruh bagi lingkungan di sekitarnya.
Di ceritakan bahwa seorang penderita Bipolar ketika depressive di ibaratkan dengan jatuh ke jurang yang paling dasar, dan sakitnya lagi ketika terjatuh dalam keadaan hidup. Saya sangat mengerti dengan filoisofi tersebut, karena saya sebagai penderita bipolar merasakan hal yang sama.
Banyak yang mengganggap kami gila, lebay, alay, drama queen dan labil. Kami paham dan maklum, karena kalian tidak pernah merasakan apa yang kami rasakan. Tapi dengan menyebut kami gila hanya membuat kami sedih dan sulit bangkit.
Bayangkan ketika kalian jatuh ke jurang dalam keadaan hidup, jatuhmu memberikan luka yang membekas di tubuhmu. Di dasar segalanya temanmu hanyalah darah dan lukamu, sebaliknya musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri.
Hidup adalah pilihan dan kami percaya itu. Saat di dasar segalannya kita di hadapkan oleh dua pilihan. Menetap di sana atau mulai mendaki. Ketika kami mulai mendaki kami akan di hadapkan oleh pilihan lagi. Mulai mendaki secepatnya saat tubuhmu masih terluka atau mendaki saat lukamu mengering dan sembuh.
Ketika kami memilih tinggal di dasar sana, kami di hadapkan oleh penderitaan. Ya!!! Penderitaan untuk membenci diri kami sendiri, membenci Tuhan, dan membenci hidup. Bagaimana tidak ? Membiarkan kami sendiri, tak ada lagi kesempatan untuk bermimpi, hidup sia-sia, dan sakitnya kami membiarkan diri kami melemah.
Ketika kami memilih mendaki seceatnya dengan luka yang ada pada tubuh kami, kami di hantui oleh rasa lelah dan kesakitan. Saat kami di tengah perjalanan mendaki keatas kemudian kami tidak kuat karena rasa lelah dan perih di luka kami. KAMI TERJATUH LAGI. Dan sialnya jatuh yang ke dua rasanya jauh lebih sakit dari yang pertama.
Dan ketika kami memilih mendaki dengan luka di tubuh yang mengering dan sembuh. Kami mendengar perkataan mereka dengan sedikit berteriak, kata yang begitu menjatuhkan kami, mereka berteriak tentang waktu berapa lamanya kita di sana.
Bagi kami memilih untuk mendaki bukan semudah mengidipkan mata, kami butuh banyak energi. Kami butuh CINTA. Tapi kami mencoba sadar dan sudah berhenti untuk mengharapkan cinta, memang tidak semua tapi banyak. Kami tau setiap manusia membutuhkan cinta karena setiap manusia pasti memiliki masalah hidup masing-masing, normal ataupun penderita bipolar. Tapi mengapa kami tidak mengharapkanya, karena kami sadar kami siapa dan mereka siapa. Kami dan mereka adalah seorang hamba.
Kami berusaha untuk memberi cinta kepada orang lain, bukan karena cinta di dalam hati kami terlalu banyak sampai tumpah-tumpah. Tapi kami tau bagaimana rasanya hidup tanpa cinta dari orang lain. IT IS BETTER TO GIVE THAN TO RECEIVE.
Ini adalah kata kata yang muncul dari pikiran saya. Tanpa ada maksud menyinggung siapapun.

Hallo guys, saya Kajol Tavia seorang warga Surabaya yang baik hati, dan tidak sombong. Kenalan yuk ... ..



